Tuah Kek Aba Oleh: Winda Kumeidah
Awan hitam menyelimuti langit yang semula biru. Seorang laki-laki setengah baya mulai berjalan melewati jalan setapak yang licin. Kabut tebal dan hawa dingin merasuki tubuh renta Kek Aba. Ya Kek Aba, orang-orang desa biasa memanggilnya dengan sebutan Kek Aba. Kek Aba biasa bangun pagi untuk bekerja demi sesuap nasi. Hidup sendiri memaksanya untuk bekerja sendiri. Istri Kek Aba telah meninggal dua tahun yang lalu, sedangkan anak-anak dan cucu- cucunya tinggal di pulau seberang. Dengan segenap hati Kek Aba pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan daun pisang yang nantinya akan dijual ke warga desa. Sebuah parang tua membantunya bekerja. Keringat bercucuran setelah sekian lama mencari kayu bakar. Setapak demi setapak dilalui Kek Aba dengan hati-hati. Di tengah perjalanan menuju desa, Kek Aba bertemu dengan seorang warga. "Kek, saya mau beli kayu bakar." ucap warga desa sambil mengambil uang di kantong celananya. Uang Rp.7000 diperoleh Kek Aba setelah seharian memeras keringat. Tentu tidak sebanding dengan apa yang dilakukan Kek Aba. Sesaat warga desa lainnya menghampiri Kek Aba untuk membeli daun pisang milik Kek Aba. Daun pisang miliknya terjual dengan harga Rp.1000. Walau upah yang diterima Kek Aba terbilang kecil, namun Kek Aba tidak pernah mengeluh sedikitpun. Uang hasil banting tulang Kek Aba hanya bisa untuk membeli sebungkus nasi. Kek Aba tinggal di sebuah gubug reyot yang atapnya tersusun dari tumpukkan jerami. Saat Kek Aba akan membuka nasi bungkusnya, terdengar ketukan pintu, "Tok... Tok... Tok" Kek Aba berjalan menuju pintu untuk membukanya. Kek Aba terkejut melihat seorang anak kecil di depan pintunya, "Sedang apa kau ada di sini, Cu?" tanya Kek Aba pada seorang anak kecil itu. "Aku mencari ayah dan ibuku,Kek." jawab anak kecil itu. Kek Aba mempersilahkan anak kecil itu masuk ke dalam rumah Kek Aba. "Memang orangtuamu kemana, Cu?" tanya Kek Aba sambil mengambil segelas air putih untuknya. "Aku tidak tahu, Kek. Saat aku pergi ke tepi danau itu mereka sudah tidak ada di sana." jelasnya. "Namamu siapa, Cu?" tanya Kek Aba. "Namaku Akira, Kek." jawabnya. "Kamu lapar tidak, Cu?" tanya Kek Aba sambil mengambil nasi bungkus miliknya. "Iya, Kek." jawab Akira. "Ini ada sebungkus nasi, makanlah Cu. Kakek sudah makan." sambilm memberikan nasi bungkus ke Akira. Kek Aba bergegas tidur setelah Akira selesai makan. Hanya gelaran tikar yang Kek Aba gunakan untuk melepas rasa lelahnya. Gadis kecil itu berbaring di sebelah Kek Aba sambil melihat setiap sudut rumah Kek Aba yang tentu berbeda dengan kondisi rumah orangtuanya. Walaupun begitu, Kek Aba terlihat nyaman menempati rumahnya. Suara kokokkan ayam membuat Kek Aba terbangun dari tidurnya. Segera Kek Aba bergegas mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat subuh. "Cu, bangun. Sudah pagi, ayo sembahyang." sambil memegang pundak Akira. "Iya,Kek." bangun dengan mata agak melek. Parang tua itu dibawanya lagi. Seperti biasanya Kek Aba pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan daun pisang. "Kek,kakek mau kemana?" tanya Akira yang sedang berdiri di depan pintu. "Kakek mau pergi ke hutan, seperti biasa mencari kayu bakar." jawab Kek Aba. "Aku mau ikut, Kek. Aku ingin membantu kakek." sambil berjalan mendekati Kek Aba. "Baiklah, Cu." Kayu bakar demi kayu bakar dikumpulkan Kek Aba. Begitu pula dengan Akira. Dengan napas terengah-engah Kek Aba berkata kepada Akira, "Cu, kalau kau lelah istirahatlah dulu." "Tidak,Kek. Justru kakek yang harus istirahat. Kakek sudah begitu lelah." sambil mempersilahkan Kek Aba untuk duduk. Kayu bakar sudah terkumpul banyak. Tibalah saatnya Kek Aba dan Akira untuk kembali ke rumah. Di tengah perjalanan terlihat ada dua orang pria berbadan kekar. "Heh kakek tua, serahkan semua uangmu!" bentak salah satu pria itu dengan nada tinggi dan keras. "Saya tidak punya uang. Saya hanya laki-laki miskin." jawab Kek Aba sambil terus menahan beban kayu yang membebani pundak Kek Aba. Akira yang melihat kejadian itu tak tahan melihat Kek Aba dibentak- bentak. "Kalian jangan berlaku tidak sopan kepada Kek Aba ya! Kek Aba lebih tua dari kalian, jadi hormatilah." kata Akira. "Diam kau anak kecil! Kau tak tahu apa-apa. Jangan ikut campur!" kata pria itu dengan kasar. Kek Aba dijorokkan dan jatuh sampai-sampai gulungan kayu bakarnya menimpa kaki Kek Aba. Kedua pria itu meninggalkan Kek Aba dan Akira. "Kakek baik-baik saja?" tanya Akira sambil mengangkat gulungan kayu bakar yang menimpa kaki Kek Aba. "Kaki kakek sakit, Cu." jawab Kek Aba. Akira membantu Kek Aba berdiri. Kek Aba jalannya jadi daglugan. Kek Aba memaksakan dirinya untuk membawa kayu bakar, karena jika tidak dibawa, hari ini tidak bisa makan. Rasa lelah terlihat jelas di wajah Kek Aba. Mendorong Akira untuk melakukan sesuatu. Akira membaringkan Kek Aba yang kelelahan. Akira pergi keluar mencari makanan untuk Kek Aba. Akira melihat sebuah pohon pisang. Dipetiknya beberapa untuk mengisi perut kosong Kek Aba yang sedari tadi belum terisi. "Kek, ini aku bawakan pisang untuk kakek. Makanlah untuk mengganjal perut kakek. Nanti Akira carikan lagi makanan." sambil menyuapi Kek Aba. "Terimakasih, Cu." ucap Kek Aba. "Iya, Kek. Apa yang Akira lakukan tidak sebanding dengan apa yang kakek lakukan sewaktu itu kepada Akira. Kakek sudah aku anggap seperti kakekku sendiri." ucapnya sambil mengambil air putih. "Sebenarnya keluarga kakek kemana?" tanya Akira sambil mengambilkan segelas air putih. "Istri kakek sudah meninggal dua tahun yang lalu. Sedangkan anak- anak dan cucu-cucu kakek tinggal.di pulau seberang." jawab Kek Aba setelah meneguk air. "Akira sedih,Kek. Melihat kakek tinggal sendiri. Oh iya,Kek aku pamit pergi keluar lagi mencari obat untuk mengobati kaki kakek dulu ya." ucap Akira. "Iya, Cu. Hati-hati ya." Akira datang menghampiri Kek Aba dengan membawa obat tradisional untuk Kek Aba. Di belakang Akira tampak ada seorang wanita dan seorang pria yang mengikuti Akira. "Cu, mereka siapa?" tanya Kek Aba "Mereka berdua adalah orangtuaku,Kek." jawab Akira sambil mengolesi obat tradisional ke luka kaki kakek. "Kami tadi menemukan Akira di kebun dekat danau yang tidak jauh dari sini." ucap ayah Akira. "Akira bilang, selama ini yang menjaga Akira adalah Kek Aba. Jadi kami datang ke sini untu mengucapkan terimakasih kepada Kek Aba." ucap ibunya Akira. "Ma, Pa, Kek Aba tinggal sendirian di sini." kata Akira menjelaskan kepada kedua orang tuanya. "Memangnya keluarga Kek Aba kemana?" tanya ibu Akira. "Istriku dua tahun yang lalu telah meninggal, sedangkan anak-anak dan cucu-cucuku tinggal di pulau seberang." jawab Kek Aba. Mendengar cerita tentang Kek Aba, kedua orangtua Akira merasa terharu dan sedih. "Ma, Pa, bagaimana kalau Kek Aba tinggal bersama kita saja?" pinta Akira sambil memegang tangan ibunya. "Tidah susah Akira, nanti kakek merepotkan kalian semua. Biarkan kakek tetap tinggal di sini saja." Kek Aba menyela. "Tidak apa-apa, Kek. Apa yang dikatakan Akira memang benar. Di rumah kami hanya ada tiga orang saja. Dengan kehadiran kakek akan menambah ramai suasana di rumah kami." ucap ayah Akira dengan rasa senang. "Iya, baiklah." kata Kek Aba dengan rasa senang dan terharu.
Awan hitam menyelimuti langit yang semula biru. Seorang laki-laki setengah baya mulai berjalan melewati jalan setapak yang licin. Kabut tebal dan hawa dingin merasuki tubuh renta Kek Aba. Ya Kek Aba, orang-orang desa biasa memanggilnya dengan sebutan Kek Aba. Kek Aba biasa bangun pagi untuk bekerja demi sesuap nasi. Hidup sendiri memaksanya untuk bekerja sendiri. Istri Kek Aba telah meninggal dua tahun yang lalu, sedangkan anak-anak dan cucu- cucunya tinggal di pulau seberang. Dengan segenap hati Kek Aba pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan daun pisang yang nantinya akan dijual ke warga desa. Sebuah parang tua membantunya bekerja. Keringat bercucuran setelah sekian lama mencari kayu bakar. Setapak demi setapak dilalui Kek Aba dengan hati-hati. Di tengah perjalanan menuju desa, Kek Aba bertemu dengan seorang warga. "Kek, saya mau beli kayu bakar." ucap warga desa sambil mengambil uang di kantong celananya. Uang Rp.7000 diperoleh Kek Aba setelah seharian memeras keringat. Tentu tidak sebanding dengan apa yang dilakukan Kek Aba. Sesaat warga desa lainnya menghampiri Kek Aba untuk membeli daun pisang milik Kek Aba. Daun pisang miliknya terjual dengan harga Rp.1000. Walau upah yang diterima Kek Aba terbilang kecil, namun Kek Aba tidak pernah mengeluh sedikitpun. Uang hasil banting tulang Kek Aba hanya bisa untuk membeli sebungkus nasi. Kek Aba tinggal di sebuah gubug reyot yang atapnya tersusun dari tumpukkan jerami. Saat Kek Aba akan membuka nasi bungkusnya, terdengar ketukan pintu, "Tok... Tok... Tok" Kek Aba berjalan menuju pintu untuk membukanya. Kek Aba terkejut melihat seorang anak kecil di depan pintunya, "Sedang apa kau ada di sini, Cu?" tanya Kek Aba pada seorang anak kecil itu. "Aku mencari ayah dan ibuku,Kek." jawab anak kecil itu. Kek Aba mempersilahkan anak kecil itu masuk ke dalam rumah Kek Aba. "Memang orangtuamu kemana, Cu?" tanya Kek Aba sambil mengambil segelas air putih untuknya. "Aku tidak tahu, Kek. Saat aku pergi ke tepi danau itu mereka sudah tidak ada di sana." jelasnya. "Namamu siapa, Cu?" tanya Kek Aba. "Namaku Akira, Kek." jawabnya. "Kamu lapar tidak, Cu?" tanya Kek Aba sambil mengambil nasi bungkus miliknya. "Iya, Kek." jawab Akira. "Ini ada sebungkus nasi, makanlah Cu. Kakek sudah makan." sambilm memberikan nasi bungkus ke Akira. Kek Aba bergegas tidur setelah Akira selesai makan. Hanya gelaran tikar yang Kek Aba gunakan untuk melepas rasa lelahnya. Gadis kecil itu berbaring di sebelah Kek Aba sambil melihat setiap sudut rumah Kek Aba yang tentu berbeda dengan kondisi rumah orangtuanya. Walaupun begitu, Kek Aba terlihat nyaman menempati rumahnya. Suara kokokkan ayam membuat Kek Aba terbangun dari tidurnya. Segera Kek Aba bergegas mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat subuh. "Cu, bangun. Sudah pagi, ayo sembahyang." sambil memegang pundak Akira. "Iya,Kek." bangun dengan mata agak melek. Parang tua itu dibawanya lagi. Seperti biasanya Kek Aba pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan daun pisang. "Kek,kakek mau kemana?" tanya Akira yang sedang berdiri di depan pintu. "Kakek mau pergi ke hutan, seperti biasa mencari kayu bakar." jawab Kek Aba. "Aku mau ikut, Kek. Aku ingin membantu kakek." sambil berjalan mendekati Kek Aba. "Baiklah, Cu." Kayu bakar demi kayu bakar dikumpulkan Kek Aba. Begitu pula dengan Akira. Dengan napas terengah-engah Kek Aba berkata kepada Akira, "Cu, kalau kau lelah istirahatlah dulu." "Tidak,Kek. Justru kakek yang harus istirahat. Kakek sudah begitu lelah." sambil mempersilahkan Kek Aba untuk duduk. Kayu bakar sudah terkumpul banyak. Tibalah saatnya Kek Aba dan Akira untuk kembali ke rumah. Di tengah perjalanan terlihat ada dua orang pria berbadan kekar. "Heh kakek tua, serahkan semua uangmu!" bentak salah satu pria itu dengan nada tinggi dan keras. "Saya tidak punya uang. Saya hanya laki-laki miskin." jawab Kek Aba sambil terus menahan beban kayu yang membebani pundak Kek Aba. Akira yang melihat kejadian itu tak tahan melihat Kek Aba dibentak- bentak. "Kalian jangan berlaku tidak sopan kepada Kek Aba ya! Kek Aba lebih tua dari kalian, jadi hormatilah." kata Akira. "Diam kau anak kecil! Kau tak tahu apa-apa. Jangan ikut campur!" kata pria itu dengan kasar. Kek Aba dijorokkan dan jatuh sampai-sampai gulungan kayu bakarnya menimpa kaki Kek Aba. Kedua pria itu meninggalkan Kek Aba dan Akira. "Kakek baik-baik saja?" tanya Akira sambil mengangkat gulungan kayu bakar yang menimpa kaki Kek Aba. "Kaki kakek sakit, Cu." jawab Kek Aba. Akira membantu Kek Aba berdiri. Kek Aba jalannya jadi daglugan. Kek Aba memaksakan dirinya untuk membawa kayu bakar, karena jika tidak dibawa, hari ini tidak bisa makan. Rasa lelah terlihat jelas di wajah Kek Aba. Mendorong Akira untuk melakukan sesuatu. Akira membaringkan Kek Aba yang kelelahan. Akira pergi keluar mencari makanan untuk Kek Aba. Akira melihat sebuah pohon pisang. Dipetiknya beberapa untuk mengisi perut kosong Kek Aba yang sedari tadi belum terisi. "Kek, ini aku bawakan pisang untuk kakek. Makanlah untuk mengganjal perut kakek. Nanti Akira carikan lagi makanan." sambil menyuapi Kek Aba. "Terimakasih, Cu." ucap Kek Aba. "Iya, Kek. Apa yang Akira lakukan tidak sebanding dengan apa yang kakek lakukan sewaktu itu kepada Akira. Kakek sudah aku anggap seperti kakekku sendiri." ucapnya sambil mengambil air putih. "Sebenarnya keluarga kakek kemana?" tanya Akira sambil mengambilkan segelas air putih. "Istri kakek sudah meninggal dua tahun yang lalu. Sedangkan anak- anak dan cucu-cucu kakek tinggal.di pulau seberang." jawab Kek Aba setelah meneguk air. "Akira sedih,Kek. Melihat kakek tinggal sendiri. Oh iya,Kek aku pamit pergi keluar lagi mencari obat untuk mengobati kaki kakek dulu ya." ucap Akira. "Iya, Cu. Hati-hati ya." Akira datang menghampiri Kek Aba dengan membawa obat tradisional untuk Kek Aba. Di belakang Akira tampak ada seorang wanita dan seorang pria yang mengikuti Akira. "Cu, mereka siapa?" tanya Kek Aba "Mereka berdua adalah orangtuaku,Kek." jawab Akira sambil mengolesi obat tradisional ke luka kaki kakek. "Kami tadi menemukan Akira di kebun dekat danau yang tidak jauh dari sini." ucap ayah Akira. "Akira bilang, selama ini yang menjaga Akira adalah Kek Aba. Jadi kami datang ke sini untu mengucapkan terimakasih kepada Kek Aba." ucap ibunya Akira. "Ma, Pa, Kek Aba tinggal sendirian di sini." kata Akira menjelaskan kepada kedua orang tuanya. "Memangnya keluarga Kek Aba kemana?" tanya ibu Akira. "Istriku dua tahun yang lalu telah meninggal, sedangkan anak-anak dan cucu-cucuku tinggal di pulau seberang." jawab Kek Aba. Mendengar cerita tentang Kek Aba, kedua orangtua Akira merasa terharu dan sedih. "Ma, Pa, bagaimana kalau Kek Aba tinggal bersama kita saja?" pinta Akira sambil memegang tangan ibunya. "Tidah susah Akira, nanti kakek merepotkan kalian semua. Biarkan kakek tetap tinggal di sini saja." Kek Aba menyela. "Tidak apa-apa, Kek. Apa yang dikatakan Akira memang benar. Di rumah kami hanya ada tiga orang saja. Dengan kehadiran kakek akan menambah ramai suasana di rumah kami." ucap ayah Akira dengan rasa senang. "Iya, baiklah." kata Kek Aba dengan rasa senang dan terharu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar